Rabu, 08 Juni 2016

From Miss to Mrs


Akhirnya Princess Kece Badai (baca : saya alias Nadia lah ya) dipinang sama Prince Charming (baca: suamik). Yang artinya hidup saya sekarang sudah berbeda. Udah gak single lagi. Udah gabisa hahahihi seenak udel sendiri. Sekarang kalo mau hahahihi harus atas dasar izin suami. Tapi masih sama aja sih ya J orang suami tipenya juga sama kaya saya. Jadi  status ini tidaklah mengubah kehidupan saya secara drastis. Oke, kali ini saya mau menceritakan pengalaman menjelang nikah kemarin. Mulai dari persiapan sampai saat ini jadi ibu rumah tangga.
Persiapan pernikahan menurut kebanyakan calon penganten pastilah sangat melelahkan, bikin ribet pusing tujuh keliling. Walo mereka pake WO sekalipun, pasti ada sisi ribetnya. Nah, kebetulan domisili saya dengan tempat pernikahan terhalang laut jawa. Yak, beda pulau sodara sodarikuuu. Kebayang kan keribetannya? Hayo tebak, apakah persiapan pernikahan saya lebih ribet dari pasangan kebanyakan ato malah gak begitu ribet-ribet amat?
Mari temukan jawabannya……
Suka duka mempersiapkan pernikahan di pulau seberang adalah gak bisa memantau semua elemen. Jadi yaaa pasrahkan saja sama orang rumah. Untungnya ada mother,dek Yud dan mbak Tik yang slalu siap untuk saya repotkan. Hihihi. Jadi pemirsah, sebenernya saya pengennya nikah ala ala mbak-mbak dan mas-mas bule di film-film yang sering saya tonton. Yaitu pake gaun cantik panjang buat pemberkatan di Gereja, trus kalo udah resmi langsung lanjut garden party yang dihadiri orang-orang terdekat saja. Tapi ternyata otak saya kali itu menolak untuk ingat kalo saya ini wong jowo aselik. Solo tulen yang ga ada bule-bulenya blas. Ya mungkin ada sih bule-bulenya dikit, terlihat dari hidung saya yang mancung, perawakan saya yang tinggi dan kulit saya yang putih. Eitss, tapi boong!!! You know me so well laah. Yap, balik maning nang laptop. Jadi gitu deh, dengan berat hati akhirnya saya putuskan untuk nurut kepada mother, orangtua saya satu-satunya. Tapi saya yakin Siba di Surga juga sehati sekata sih sama mother. Mother pengennya resepsi saya digelar di gedung dengan semua kenalan diundang dan cara penyajian makanannya piring terbang. Pokoknya masih adat banget lah. Tapi gada salahnya juga sih. It means, hasil dandananku selama berjam-jam bisa dinikmati banyak orang dengan rentang waktu yang lumayan lamak (yups, acara 2 jam, tamu mesti standby juga duduk disitu 2 jam.) So, gak sia-sia kan mengorbankan rambutku disasak habis2an dan mukakq di dempul tebel2an. Bisa pamer lama. Huahaha, maap mulei swombong. Bawaan orok gaes.
Udah, lanjut tentang persiapan nikah tadi yaaaa….. Akhir Desember 2015 ada tembungan yaitu pihak keluarga mempelai laki-laki dateng minta izin ke keluarga mempelai wanita. Ga ada drama-dramanya kog setelah peristiwa itu. Kata orang sih menjelang pernikahan ini bakal banyak konflik, banyak beda pendapat yang bikin agak heboh kecil-kecilan. Namun kita berdua langsung membentuk tim nan solid. Menyatukan kekuatan maksimal untuk mulai ngurus berkas, hunting gedung, make up, dokumentasi, dll. Memasuki awal tahun 2016, keadaan memaksa kami untuk balik ke perantauan. Akhirnya kita kembali ke Palangkaraya dan memasrahkan segala persiapan yang telah kita lakukan sebisa mungkin selama di Solo kepada keluarga. Oke, kalo dipersenin, mungkin persiapan kita waktu itu sudah masih sekitar 10%. Yoi, kala itu cuma sempet  DP gedung sama nanya ke gereja perihal pernikahan beda agama secara Katholik (lebih tepatnya disebut pernikahan beda Gereja).  Jadi karena saya dan suami sama-sama masih kekeuh dengan agama masing-masing, alhasil  pemberkatan pernikahan dilakukan dengan Oikumene. Yaitu diberkati oleh dua pemimpin agama sekaligus, Romo dan Pendeta. Cihui kan??
Lanjuttttt.  Selama 5 bulan -dari Januari sampe Mei-, kami hanya sempet 2x pulang.  Itu pun g lebih dari seminggu buat ngurus ini itu yang kurang-kurang. Yahud bukan? Oh iya, lupa ngasih info. Suami ini orang Pati (yang jaraknya 4 jam dari Solo). Jadi tiap balik Pulo Jawa, ngurusnya di dua tempat. Solo dan Pati. Mau nanya kenapa g ngurus sendiri-sendiri aja? Ya karena gabisa gaes. Kalo bisa mah pilih ngurus sendiri-sendiri biar lebih efektif dan efisien. Namun kala itu kita diminta bimbingan pra nikah dulu sama Pendeta di Pati sana. Berguna sih, soalnya bimbingan yang di Palangkaraya berasa masih kurang. Maklum, yang nyampein bimbingan bukan tim yang sudah pengalaman, so masih perlu tambahan sana-sini. Jadi kalo ditamabah bimbingan yang dari Pati,  materinya saling melengkapi lah. Double combo.
Untungnya dari segala kekurangan, sebagian besar sudah dirampungkan pihak keluarga. Jadi terakhir kami pulang sudah 90% lah persiapannya. Sungguh luar biasa karna kuasa-Nya yang memampukan pihak-pihak yang membantu. Pada akhirnya tibalah hari itu, 7 Mei 2016. Hari dimana kami dipersatukan. Banyak surprise disana, dari surprise yang menyenangkan (temen-temen yang disangka gabisa dateng, ternyata datang menyaksikan pada waktu itu. Thx gaes :*) sampe surprise yang kurang nyenengin. Yoi, disitu ntah Romo ngerjain kita ato gimana, ternyata pengucapan janji sucinya disuruh ngafalin, gabole baca. Padahal ga ada pemberitahuan sebelumnya, ya mana ada inisiatif buat ngapalin -_- alhasil kita cuma pandang-pandangan doang saat itu. Sumpah kikuk. Tapi trus akhirnya didiktein sama Bapak Pendeta. Hihihi. Trus selanjutnya berjalan luancarrrr. Akhir acara pemberkatan, sempet gerimis kecil. Tapi udah brenti. Pulang deh, mempersiapkan tenaga untuk resepsi pada malam harinya.
Sudah lega akhirnya resmi. Ohiya, ternyata deg-degan sebelum nikahnya cuma berlaku beberapa menit menjelang pemberkatan aja di aku. Jadi buat kalian yang pernah tanya : “gimana rasanya jadi calon penganten?”, “Udah deg-degan blom?”, “Deg-degan gak mau nikah gini?” seminggu bahkan sebulan sebelum saya nikah, yaaah sekarang kalian tau jawabannya kan? Bahkan pas lamaran pun (tepat beberapa jam sebelum berangkat ke Gereja untuk pemberkatan), saya masih santai bin tenang-tenang aja.
Udah sekian dulu aja,ceritanya lanjut kapan-kapan lagi buat yang resepsi sama ngunduhnya di Pati.
Halaah, emang ada yang penasaran gitu??