Akhirnya Princess Kece Badai (baca : saya
alias Nadia lah ya) dipinang sama Prince Charming (baca: suamik). Yang artinya
hidup saya sekarang sudah berbeda. Udah gak single lagi. Udah gabisa hahahihi
seenak udel sendiri. Sekarang kalo mau hahahihi harus atas dasar izin suami.
Tapi masih sama aja sih ya J orang
suami tipenya juga sama kaya saya. Jadi status
ini tidaklah mengubah kehidupan saya secara drastis. Oke, kali ini saya mau
menceritakan pengalaman menjelang nikah kemarin. Mulai dari persiapan sampai
saat ini jadi ibu rumah tangga.
Persiapan pernikahan menurut kebanyakan
calon penganten pastilah sangat melelahkan, bikin ribet pusing tujuh keliling.
Walo mereka pake WO sekalipun, pasti ada sisi ribetnya. Nah, kebetulan domisili
saya dengan tempat pernikahan terhalang laut jawa. Yak, beda pulau sodara
sodarikuuu. Kebayang kan keribetannya? Hayo tebak, apakah persiapan pernikahan
saya lebih ribet dari pasangan kebanyakan ato malah gak begitu ribet-ribet
amat?
Mari temukan jawabannya……
Suka duka mempersiapkan pernikahan di
pulau seberang adalah gak bisa memantau semua elemen. Jadi yaaa pasrahkan saja
sama orang rumah. Untungnya ada mother,dek Yud dan mbak Tik yang slalu siap untuk
saya repotkan. Hihihi. Jadi pemirsah, sebenernya saya pengennya nikah ala ala
mbak-mbak dan mas-mas bule di film-film yang sering saya tonton. Yaitu pake
gaun cantik panjang buat pemberkatan di Gereja, trus kalo udah resmi langsung
lanjut garden party yang dihadiri orang-orang terdekat saja. Tapi ternyata otak
saya kali itu menolak untuk ingat kalo saya ini wong jowo aselik. Solo tulen
yang ga ada bule-bulenya blas. Ya mungkin ada sih bule-bulenya dikit, terlihat
dari hidung saya yang mancung, perawakan saya yang tinggi dan kulit saya yang
putih. Eitss, tapi boong!!! You know me so well laah. Yap, balik maning nang
laptop. Jadi gitu deh, dengan berat hati akhirnya saya putuskan untuk nurut
kepada mother, orangtua saya satu-satunya. Tapi saya yakin Siba di Surga juga
sehati sekata sih sama mother. Mother pengennya resepsi saya digelar di gedung
dengan semua kenalan diundang dan cara penyajian makanannya piring terbang.
Pokoknya masih adat banget lah. Tapi gada salahnya juga sih. It means, hasil
dandananku selama berjam-jam bisa dinikmati banyak orang dengan rentang waktu
yang lumayan lamak (yups, acara 2 jam, tamu mesti standby juga duduk disitu 2
jam.) So, gak sia-sia kan mengorbankan rambutku disasak habis2an dan mukakq di
dempul tebel2an. Bisa pamer lama. Huahaha, maap mulei swombong. Bawaan orok
gaes.
Udah, lanjut tentang persiapan nikah tadi
yaaaa….. Akhir Desember 2015 ada tembungan
yaitu pihak keluarga mempelai laki-laki dateng minta izin ke keluarga
mempelai wanita. Ga ada drama-dramanya kog setelah peristiwa itu. Kata orang
sih menjelang pernikahan ini bakal banyak konflik, banyak beda pendapat yang
bikin agak heboh kecil-kecilan. Namun kita berdua langsung membentuk tim nan solid.
Menyatukan kekuatan maksimal untuk mulai ngurus berkas, hunting gedung, make
up, dokumentasi, dll. Memasuki awal tahun 2016, keadaan memaksa kami untuk
balik ke perantauan. Akhirnya kita kembali ke Palangkaraya dan memasrahkan
segala persiapan yang telah kita lakukan sebisa mungkin selama di Solo kepada
keluarga. Oke, kalo dipersenin, mungkin persiapan kita waktu itu sudah
masih sekitar 10%. Yoi, kala itu cuma sempet DP gedung sama nanya ke gereja perihal
pernikahan beda agama secara Katholik (lebih tepatnya disebut pernikahan beda
Gereja). Jadi karena saya dan suami
sama-sama masih kekeuh dengan agama masing-masing, alhasil pemberkatan pernikahan dilakukan dengan
Oikumene. Yaitu diberkati oleh dua pemimpin agama sekaligus, Romo dan Pendeta.
Cihui kan??
Lanjuttttt. Selama 5 bulan -dari Januari sampe Mei-, kami
hanya sempet 2x pulang. Itu pun g lebih
dari seminggu buat ngurus ini itu yang kurang-kurang. Yahud bukan? Oh iya, lupa
ngasih info. Suami ini orang Pati (yang jaraknya 4 jam dari Solo). Jadi tiap
balik Pulo Jawa, ngurusnya di dua tempat. Solo dan Pati. Mau nanya kenapa g
ngurus sendiri-sendiri aja? Ya karena gabisa gaes. Kalo bisa mah pilih ngurus
sendiri-sendiri biar lebih efektif dan efisien. Namun kala itu kita diminta
bimbingan pra nikah dulu sama Pendeta di Pati sana. Berguna sih, soalnya
bimbingan yang di Palangkaraya berasa masih kurang. Maklum, yang nyampein
bimbingan bukan tim yang sudah pengalaman, so masih perlu tambahan sana-sini.
Jadi kalo ditamabah bimbingan yang dari Pati, materinya saling melengkapi lah. Double combo.
Untungnya dari segala kekurangan,
sebagian besar sudah dirampungkan pihak keluarga. Jadi terakhir kami pulang
sudah 90% lah persiapannya. Sungguh luar biasa karna kuasa-Nya yang memampukan
pihak-pihak yang membantu. Pada akhirnya tibalah hari itu, 7 Mei 2016. Hari
dimana kami dipersatukan. Banyak surprise disana, dari surprise yang
menyenangkan (temen-temen yang disangka gabisa dateng, ternyata datang menyaksikan
pada waktu itu. Thx gaes :*) sampe surprise yang kurang nyenengin. Yoi, disitu
ntah Romo ngerjain kita ato gimana, ternyata pengucapan janji sucinya disuruh
ngafalin, gabole baca. Padahal ga ada pemberitahuan sebelumnya, ya mana ada inisiatif
buat ngapalin -_- alhasil kita cuma pandang-pandangan doang saat itu. Sumpah
kikuk. Tapi trus akhirnya didiktein sama Bapak Pendeta. Hihihi. Trus
selanjutnya berjalan luancarrrr. Akhir acara pemberkatan, sempet gerimis kecil.
Tapi udah brenti. Pulang deh, mempersiapkan tenaga untuk resepsi pada malam
harinya.
Sudah lega akhirnya resmi. Ohiya,
ternyata deg-degan sebelum nikahnya cuma berlaku beberapa menit menjelang
pemberkatan aja di aku. Jadi buat kalian yang pernah tanya : “gimana rasanya
jadi calon penganten?”, “Udah deg-degan blom?”, “Deg-degan gak mau nikah gini?”
seminggu bahkan sebulan sebelum saya nikah, yaaah sekarang kalian tau
jawabannya kan? Bahkan pas lamaran pun (tepat beberapa jam sebelum berangkat ke
Gereja untuk pemberkatan), saya masih santai bin tenang-tenang aja.
Udah sekian dulu aja,ceritanya lanjut
kapan-kapan lagi buat yang resepsi sama ngunduhnya di Pati.
Halaah, emang ada yang penasaran gitu??